Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 12)
Dalam sewa menyewa jasa secara umum, tentunya ada hal-hal yang sifatnya berisiko, seperti rusak, hilang, hancur, dan lain sebagainya. Pada pembahasan kali ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai jaminan atau ganti rugi ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan antara kedua belah pihak.
Apakah ganti rugi hanya ada di penyedia jasa? Apakah penyedia jasa wajib untuk mengganti rugi segala kerusakan? Bagaimana jika penyedia jasa tidak mau ganti rugi?
Berangkat dari pertanyaan inilah pembahasan ini dituliskan. Mengingat pembahasan ini dibahas oleh para ulama di kitab-kitab mereka, karena tentunya problem seperti ini banyak terjadi di tengah masyarakat muslim. Tulisan ini menjadi penutup dari serial fikih transaksi sewa menyewa.
Jaminan ganti rugi sewa menyewa jasa secara umum
Pada poin ini terdapat beberapa keadaan yang perlu diketahui. Di antaranya,
Keadaan pertama, penyedia jasa mengganti rugi atas kesalahannya atau barang yang dirusaknya
Hal ini sebagaimana yang datang dari sebagian sahabat, di antaranya ‘Umar bin Khattab dan ‘Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhuma. Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari ‘Umar radiyallahu ‘anhu,
ضَمَّنَ الصُّنَاعَ الذِيْنَ اِنْتَصَبُوا لِلنَّاسِ فِي أّعْمَالِهِمْ مَا أَهْلَكُوْا فِي أَيْدِيْهِمْ
“Para pekerja (penyedia jasa) yang bekerja untuk masyarakat (secara umum) dalam pekerjaan mereka harus bertanggung jawab atas segala kesalahan dan kerusakan yang mungkin terjadi akibat pekerjaan mereka.”
Dari atsar di atas, sebagian ulama berpendapat bahwa penyedia jasa atau pekerja wajib mengganti rugi barang yang rusak akibat pekerjaan mereka. Artinya, hal ini secara mutlak, baik secara sengaja atau tidak.
Alasannya, dikarenakan yang menjadi patokan dalam sewa menyewa jasa secara umum adalah selesainya pekerjaan. Jika pekerjaan tidak selesai disebabkan kesalahan dari pekerjanya, maka wajib bagi pekerja untuk menggantinya.
Contoh: Tukang jahit, seseorang datang kepadanya membawa kain dengan tujuan untuk dibuatkan baju dalam waktu sepekan. Setelah sepekan berlalu, yang jadi bukanlah baju, namun celana.
Kesalahan ini tentunya ada pada pihak pekerja atau penyedia jasa. Apakah harus ganti rugi? Jawabnya, iya. Walaupun ia mengatakan lupa, tertukar, dan lain sebagainya, tetaplah kewajiban ganti rugi tidak gugur darinya, ia tetap harus ganti rugi. Jika pihak penyedia jasa enggan untuk ganti rugi, tentunya ia berdosa.
Jika penyedia jasa ganti rugi, kemudian mengerjakan ulang lagi dengan menjahit bajunya. Apakah ia berhak untuk mendapat upah tambahan? Jawabnya, tidak. Karena kesalahan terjadi dari pihak penyedia jasa.
Dan contoh-contoh lainnya, seperti pembuat makanan yang ternyata hasil makanannya gosong, koki yang merusak peralatan dapur, penyedia jasa seperti porter yang membawa barang-barang penumpang ternyata barangnya terjatuh karena ia terpeleset, dan lain sebagainya. Maka menurut pendapat ini, ia wajib untuk ganti rugi secara mutlak, walaupun tidak ada kesengajaan sama sekali.
Pendapat ini diselisihi oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan,
وَلَكِنَّ الصَّحِيْحَ أَنَّهُ لَا ضَمَانَ مُطْلَقاً إِذَا لَمْ يَتَعَد أَوْ يفرط
“Yang lebih tepat adalah tidak ada ganti rugi secara mutlak, terlebih ia tidak sengaja dan merusak.” (Syarhul Mumti’, 10: 38)
Sehingga dari pendapat ini, tidak ada ganti rugi jika ada kesalahan atau kerusakan selama tidak ada unsur kesengajaan.
Keadaan kedua, penyedia jasa tidak ganti rugi terhadap barang yang dicuri dalam keadaan dijaga olehnya atau barang yang rusak secara natural (tanpa kesengajaan)
Ketika ada barang yang sedang dikerjakan oleh penyedia jasa, semisal bahan yang diberikan oleh pengguna jasanya, dan penyedia jasa telah meletakkan barang tersebut di tempat yang tersimpan atau terjaga (tidak diketahui oleh orang lain, kemudian barang tersebut dicuri, maka penyedia jasa tidak memiliki kewajiban ganti rugi atas hal tersebut.
Sama halnya jika ada suatu bahan atau barang yang sifatnya mudah rusak, kemudian barang tersebut rusak secara natural, maka penyedia jasa tidak dituntut ganti rugi. Seperti halnya juga jika toko terbakar dengan sendirinya tanpa kesengajaan dari penyedia jasa.
Contoh: Penjahit telah menjaga baju yang dijahitnya untuk pengguna jasa dengan sebaik mungkin. Ditaruh di dalam rumahnya dan dikunci rapat. Pada malam hari, ternyata bajunya di ambil oleh pencuri. Maka penyedia jasa tidak wajib mengganti, karena hal ini terjadi bukan disebabkan oleh kesengajaannya.
Tersisa satu masalah pada keadaan ini, yaitu apakah penyedia jasa tetap mendapatkan upah walaupun hasil tidak jadi dan ia tidak menggantinya?
Pada masalah ini, terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Para ulama dari madzhab Hanbali mengatakan bahwa dia tidak berhak mendapatkan upah. Karena penyedia jasa belum menyelesaikan pekerjaan dan jasanya. Sehingga ia tidak berhak untuk mendapatkan upah.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ (10: 85) mengatakan,
والصحيح أن له الأجرة؛ لأنه وفى بما استؤجر عليه، وما دام لا يضمن لك الثوب فإنه لا يضمن لك العمل في الثوب؛ لأننا إذا قلنا: ليس له أجرة، فمعناه أننا ضمَّنَّاه العمل في الثوب وذهب عليه خسارة، ولأنه غير متعدٍّ ولا مفرط وقد قام بالعمل الذي عليه، وتلف الثوب ـ مثلاً ـ على حساب صاحبه ـ المالك ـ، أما الأجير، فقد أدى ما عليه، فكيف نقول: لا أجرة له؟
“Yang tepat, penyedia jasa tetap berhak mendapatkan upah. Karena ia telah menunaikan dan mengerjakan sesuai dengan penyewaan jasanya. Selama dia tidak harus bertanggung jawab atas kerusakan pakaian, maka ia pun tidak bertanggung jawab atas terhenti pekerjaannya (jika terhenti di luar batas kemampuannya). Jika kita mengatakan bahwa dia tidak berhak atas upah, itu berarti kita menuntutnya untuk bertanggung jawab atas pekerjaan pada pakaian dan kerugiannya. Padahal, dia tidak melakukan kelalaian atau kesalahan dan telah melaksanakan pekerjaannya dengan benar. Oleh karena itu, kerusakan pada pakaian -misalnya- menjadi tanggung jawab pemiliknya. Adapun pekerja (penyedia jasa), dia telah melakukan tugasnya, jadi bagaimana kita bisa mengatakan dia tidak berhak atas upahnya?”
Sehingga jika kita mengatakan penyedia jasa harus tetap ganti rugi jika terjadi kerusakan di luar batas kemampuannya dan bukan kesalahannya, tentu tidak adil dalam akad ini. Oleh karena itu, pendapat Syekh Al-Utsaimin rahimahullah adalah pendapat yang tepat dalam hal ini.
Inilah di antara keadaan-keadaan ganti rugi penyedia jasa dalam transaksi sewa menyewa jasa secara umum. Dan dengan ini, kami menutup tulisan tentang pembahasan fikih ijarah (transaksi sewa menyewa). Semoga tulisan kami bermanfaat bagi diri kami pribadi dan keluarga dan untuk kaum muslimin secara umum.
Alhamdulillah Alladzi Bini’matihi Tatimmus Shaalihat …
Wallahu’alam.
[Selesai]
Kembali ke bagian 11 Mulai dari bagian 1
***
Depok, 21 Ramadan 1446/ 20 Maret 2025
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Diringkas dari kitab Syarhul Mumti’ karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Fiqhul Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Muyassar karya Dr. Abdurrahman bin Hamud Al-Muthiriy. Cet. Maktabah Imam Adz Dzahabi.
Dan beberapa referensi lainnya.
Artikel asli: https://muslim.or.id/104422-fikih-transaksi-ijarah-sewa-menyewa-bag-12.html